Minggu, 01 Januari 2012

PEMILU


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Demokrasi menjadi salah satu sistem politik yang paling banyak dianut oleh negara-negara di dunia. Indonesia merupakan salah satu negara yang menjalankan sistem politik demokrasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.
Terdapat beberapa pilar yang menjadi prasyarat berjalannya sistem politik demokra­si, yaitu :
1.      Adanya penyelenggaraan pemilu yang bebas dan berkala.
2.      Adanya pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif.
3.      Adanya perlindungan terhadap HAM.
4.      Berkembangnya civil society dalam masyarakat.
Penyelenggaraan pemilu yang bebas dan berkala menjadi prasyarat sistem politik demokrasi, karena pemilu merupakan salah satu sarana kedaulatan rakyat dimana rakyat dapat memilih wakil dan pemimpin mereka untuk menjalankan pemerintahan.
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Di tengah masyarakat, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.

BAB II
PERMASALAHAN

Dari latar belakang masalah di atas dapat penulis rumuskan masalah sebagai berikut :
A.  Apa pengertian Pemilu?
B.  Apa tujuan dan manfaat Pemilu?
C.  Apa saja azas-azas Pemilu?
D.  Apa saja sistem Pemilu?
E.   Bagaimanakah sejarah pelaksanaan Pemilu di Indonesia?
F.   Bagaimanakah perkiraan pelaksanaan Pemilu di Indonesia tahun 2014?

BAB III
PEMBAHASAN MASALAH

A.  Pengertian Pemilu
Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.
Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dimana rakyat dapat memi­lih pemimpin politik secara langsung. Yang dimaksud dengan pemimpin politik disini adalah wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat (parlemen) baik ditingkat pusat maupun daerah dan pemimpin lembaga eksekutif atau kepala pemerintahan seperti presiden, gubernur, atau bupati/walikota.

B.  Tujuan dan manfaat Pemilu
Penyelenggaraan Pemilu sangatlah penting bagi suatu negara, hal ini disebabkan karena :
1.    Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat.
2.    Pemilu merupakan sarana untuk melakukan penggantian pemimpin secara kontitu­sional.
3.    Pemilu merupakan sarana bagi pemimpin politik untuk memperoleh legitimasi.
4.    Pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam proses politik.
Berbagai literatur pemilu menunjukkan, tiga tujuan pemilu yaitu keterwakilan politik, integritas politik dan pemerintahan efektif, masing-masing tidak saling memperkuat, tapi justru saling menegasikan. Artinya kalau suatu negara memprioritaskan keterwakilan politik sebagai tujuan, pemilu sulit menghasilkan pemerintahan efektif, bisa-bisa malah menimbulkan perpecahan politik.
Jika negara mengedepankan integritas politik, pemilu bisa menjaga stabilitas politik, tetapi banyak kelompok terdiskriminasi. Pemerintahan bisa saja kuat, tetapi kontrol tidak terjadi, sehingga korupsi merajalela. Demikian juga pengutamaan tujuan pemerintahan efektif, akan menimbulkan ketidakpuasan banyak kelompok yang tidak terwakili, sehingga
stabilitas politik pun sangat rentan.
Melihat implikasi politik dari setiap tujuan yang ditetapkan, maka para perancang pemilu atau pembuat undang-undang pemilu, harus membahas serius upaya menetapkan tujuan yang hendak dicapai dari pemilu yang dirancangnya. Pembahasan harus melibatkan semua pemangku kepentingan, dan memastikan satu tujuan yang jadi prioritas.
Dalam menentukan tujuan utama tersebut, mereka harus mendasarkan diri pada realitas politik saat ini, mempertimbangkan ketentuan-ketentuan konstitusional, dan yang tak kalah penting menetapkan visi politik yang hendak dicapai di hari depan.
Perdebatan yang mendasarkan pada realitas politik biasanya akan berpanjang-panjang, karena masing-masing kekuatan politik merasa harus mempertahankan kepentingannya. Namun mereka harus menyadari, bahwa realitas politik yang ada sekarang tidak akan terus bertahan, sehingga perubahan dan penataan merupakan keniscayaan.
Di sinilah pentingnya para perancang undang-undang pemilu memiliki visi politik ke depan. Bisa saja visi itu melampaui apa yang ditentukan konstitusi, namun mereka tidak perlu khawatir karena sebagai produk politik, konstitusi juga bisa diubah, jika memang merintangi tercapainya visi politik tersebut. Tentu saja perubahan-perubahan bisa dilakukan secara gradual.
Begitu satu tujuan utama ditetapkan, maka pembahasan berikutnya akan lebih mudah, karena ilmu pemilu yang berkembang atas pengalaman banyak negara, menyediakan berbagai macam formula yang bisa dipakai untuk mencapai tujuan tersebut. Pemilu pada intinya adalah bagaimana suara rakyat dikonversi menjadi kursi. Karena ini menyangkut jumlah suara dan jumlah kursi, maka formulasinya bukan hal yang sulit, bahkan bisa dicari rumus matematikanya.
Jika keterwakilan politik yang diprioritaskan, maka pemilu proporsional adalah sistemnya. Dengan sistem ini, maka hampir semua kekuatan politik mempunyai peluang untuk duduk di parlemen. Proporsional paling sempurna bila diterapkan pada tingkat nasional, seperti di Belanda dan Israel. Di dua negara itu, jika partai meraih suara 40%, maka bisa dipastikan kursinya di parlemen juga 40%.
Karena hampir setiap partai punya kursi, maka jumlah partai politik di parlemen cukup banyak; bisa belasan bahkan dua puluhan. Jika tidak ada partai dominan, sulit membentuk pemerintahan. Koalisi sering berubah-ubah, sehingga politik tidak stabil,pemerintahan sering berganti, dan tentu saja tidak efektif. Jika di Belanda dan Israel, instabilitas politik tidak sampai mengganggu kehidupan sosial ekonomi sehari-hari, itu lebih karena aparat negara (birokrasi, polisi dan tentara) bisa jalan tanpa pemerintahan.
Jika pemerintahan efektif yang menjadi tujuan, maka sistem pemilu mayoritarian adalah pilihannya. Sistem pemilu yang di sini disebut sebagai sistem distrik itu, membagi negara menjadi sekian daerah pemilihan sesuai dengan jumlah kursi parlemen. Karena setiap daerah hanya memperebutkan satu kursi, maka hal ini memaksa partai-partai untuk bergabung. Akibatnya jumlah partai yang masuk parlemen sangat sedikit.
Jika pun banyak partai masuk parlemen, kursi akan terkonsentarasi ke beberapa partai besar. Memang sistem ini belum menjamin terjadinya partai mayoritas di parlemen. Namun penggalangan koalisi akan lebih mudah dilakukan karena jumlah partai sedikit. Hanya menarik suatu dua partai, parta dominan bisa menguasai mayoritas parlemen. Dampaknya pemerintahan efektif.
Dalam sistem pemerintahan parlementar, seperti di Ingggris, India dan Malaysia, koalisi pemerintahan akan didukung sepenuhnya oleh parlemen, karena eksekutif sesungguhnya adalah anggota dari partai atau koalisi partai mayoritas. Dalam sistem presidensial, seperti di AS, presiden terpilih akan didukung oleh partai tempat berasal, yang biasanya menguasai mayoritas kongres.
Pemilu bisa juga digunakan untuk menjaga integritas politik. Pemilu proporsional lebih besar manfaatnya untuk menjaga integritas politik, karena hampir semua partai politik punya peluang untuk mempunyai wakil. Ini berbeda dengan pemilu mayoritarian, yang hanya menempatkan partai besar di pemerintahan, baik di legislatif maupun eksekutif.
Dalam kondisi demikian, jika penduduk belum matang dalam berpolitik, maka sistem mayoritarian sangat mendorong perpecahan politik. Itulah sebabnya, banyak negara Afrika yang dulunyan menggunakan sistem mayoritarian, beralih ke sistem proporsional. Tentu saja dengan risiko, pemerintahnya ribut melulu, karena begitu banyak partai yang masuk parlemen.
Bagaimana pengalaman Indonesia? Presiden Soeharto yang sangat konsern pada masalah stabilitas politik saat berkuasa, sadar sesadar-sadarnya, bahwa pemilu bisa digunakan sebagai instrumen untuk menjaga stabilitas politik. Oleh karena itu, dia tidak memaksakan diri untuk menggunakan sistem mayoritarian sebagaimana diusulkan oleh perwira militer lainnya.
Soeharto mengakomodasi tuntutan partai-partai politik untuk menggunakan sistem proporsional, dengan kompensasi militer mendapatkan kursi gratis di parlemen. Namun yang lebih penting adalah putusan Soeharto untuk menyerentakkan pemilihan perlemen nasional dan daerah dalam satu waktu, sehingga pemilihan DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kotamadya bareng waktu pelaksanaannya.
Dengan membarengkan pelaksanaan pemilu DPR, DPR provinsi dan DPRD kabupaten/kota, Soeharto tidak hanya menghemat biaya pemilu, tetapi yang lebih penting adalah terciptanya stabilitas politik nasional, karena konstelasi politik hasil pemilu di setiap daerah, cenderung sama dengan konstalasi politik nasional. Artinya, dengan hanya mengendalikan pimpinan partai nasional, Soeharto berhasil menstabilkan politik lokal.
Lain lagi dengan pemilu pasca-Orde Baru. Pengabaian partai dalam perpolitikan nasional pada era Orde Baru, mendorong semua kekuatan politik untuk bisa tampil (kembali) di arena politik. Akibatnya isu keterwakilan politik menjadi prioritas ketika hendak menggelar Pemilu 1999. Pengedepanan isu keterwakilan itu terus menguat pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Hasilnya memang terlihat jelas: hampir semua partai politik mempunyai wakil di parlemen; jika tidak di tingkat nasional, mereka bisa tampil di parlemen lokal.
Konfigurasi politik menjadi warna warni. Tidak ada kekuatan dominan, baik pada tingkat parlemen lokal maupun nasional. Konfigruasi politik macam itu, menyebabkan presiden dan kepala daerah yang dipilih langsung pun, tidak berdaya menghadapi parlemen. Konflik antara legisaltif dan ekseklutif tidak bisa dihindari. Dalam suasana seperti itu jelas, pemerintah tidak akan efektif bekerja.
Memang, dalam praktek politik konflik tidak berlanjut. Harmonis terjadi antara eksekutif dan legislatif. Tapi itu semua harus dibayar mahal, karena hamoni itu terjadi setelah politik dagang sapi, atau politik transaksional. Uang negara dijadikan bancakan para politisi. Korupsi terjadi di mana-mana.
Lantas, apalah artinya kita berpemilu, jika pemerintah yang dihasilkannya tidak efektif bekerja. Apalah gunanya berpermilu, bila anggota legisaltif dan eksekutif asyik masyuk berkorupsi. Sekali lagi, para perancang pemilu, khususnya DPR dan pemerintah, juga para akademisi dan pemantau yang sering terlibat dalam perdebatan pembahasan undang-undang pemilu, harus menyadari sejak dini: apa tujuan berpemilu!

C.  Azas-azas Pemilu
Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.

D.  System Pemilu
Dalam ilmu politik dikenal beberapa sistem pemilu, akan tetapi umumnya berkisar pada prinsip pokok, antara lain:
1.  Sistem Distrik
Sistem distrik biasa disebut juga single-member constituency (tetapi ada juga yang memakai istilah single-member-district untuk menyebut sistem ini). Pada intinya, sistem distrik merupakan sistem pemilihan dimana suatu negara dibagi menjadi be­berapa daerah pemilihan (distrik) yang jumlahnya sama dengan jumlah wakil rakyat yang akan dipilih dalam sebuah lembaga perwakilan.
Dengan demikian, satu distrik akan menghasilkan satu wakil rakyat. Kandidat yang memperoleh suara terbanyak di suatu distrik akan menjadi wakil rakyat terpilih, sedangkan kandidat yang memperoleh suara lebih sedikit, suaranya tidak akan diperhitungkan atau dianggap hilang—sekecil apapun selisih perolehan suara yang ada—sehingga dikenal istilah the winner-takes-all.  Kelebihan sistem distrik antara lain:
a.    Karena kecil atau tidak terlalu besarnya distrik maka biasanya ada hubungan atau kedekatan antara kandidat dengan masyarakat di distrik tersebut. Kandidat men­genal masyarakat serta kepentingan yang mereka butuhkan.
b.    Sistem ini akan mendorong partai politik untuk melakukan penyeleksian yang lebih ketat dan kompetitif terhadap calon yang akan diajukan untuk menjadi kandidat dalam pemilihan.
c.    Karena perolehan suara partai-partai kecil tidak diperhitungkan, maka secara tidak langsung akan terjadi penyederhanaan partai politik. Sistem dwipartai akan lebih berkembang dan pemerintahan dapat berjalan dengan lebih stabil.
Kekurangan sistem distrik, antara lain:
a.    Sistem ini kurang representatif karena perolehan suara kandidat yang kalah tidak diperhitungkan sama sekali atau suara tersebut dianggap hilang.
b.    Partai-partai kecil atau golongan/kelompok minoritas/termarjinalkan yang mem­peroleh suara yang lebih sedikit tidak akan terwakili (tidak memiliki wakil) karena suara mereka tidak diperhitungkan. Dalam hal ini, kaum perempuan memiliki pelu­ang yang kecil untuk bersaing mengingat terbatasnya kursi yang diperebutkan.
c.    Wakil rakyat terpilih akan cenderung lebih memperhatikan kepentingan rakyat di dis­triknya dibandingkan dengan distrik-distrik yang lain.
2.  Sistem Proporsional
Sistem proporsional lahir untuk menjawab kelemahan dari sistem distrik. Sistem proporsional merupakan sistem pemilihan yang memperhatikan proporsi atau perim­bangan antara jumlah penduduk dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan. Dengan sistem ini, maka dalam lembaga perwakilan, daerah yang memiliki penduduk lebih besar akan memperoleh kursi yang lebih banyak di suatu daerah pemilihan, begitupun seba­liknya.
Sistem proporsional juga mengatur tentang proporsi antara jumlah suara yang diper­oleh suatu partai politik untuk kemudian dikonversikan menjadi kursi yang diperoleh par­tai politik tersebut. Karena adanya perimbangan antara jumlah suara dengan kursi, maka di Indonesia dikenal Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). BPP merefleksikan jumlah suara yang menjadi batas diperolehnya kursi di suatu daerah pemilihan.
Partai politik dimungkinkan mencalonkan lebih dari satu kandidat karena kursi yang diperebutkan di daerah pemilihan lebih dari satu.  Kelebihan sistem proporsional antara lain:
a.    Menyelamatkan suara masyarakat pemilih dimana suara kandidat yang lebih kecil dari kandidat yang lain tetap akan diperhitungkan sehingga sedikit suara yang hilang.
b.    Memungkinkan partai-partai yang memperoleh suara atau dukungan yang lebih sedikit tetap memiliki wakil di parlemen karena suara mereka tidak otomatis hilang atau tetap diperhitungkan.
c.    Memungkinkan terpilihnya perempuan karena kursi yang diperebutkan dalam satu daerah pemilihan lebih dari satu.
Kekurangan sistem proporsional antara lain:
a.    Sistem ini cenderung menyuburkan sistem multipartai yang dapat mempersulit terwu­judnya pemerintahan yang stabil.
b.    Biasanya antara pemilih dengan kandidat tidak ada kedekatan secara emosional. Pemi­lih tidak atau kurang mengenal kandidat, dan kandidat juga tidak mengenal karak­teristik daerah pemilihannya, masyarakat pemilih dan aspirasi serta kepentingan me-reka. Kandidat lebih memiliki keterikatan dengan partai politik sebagai saluran yang mengusulkan mereka. Pada akhirnya nanti, kandidat yang terpilih mungkin tidak akan memperjuangkan dengan gigih kepentingan pemilih karena tidak adanya kedekatan emosional tadi.
3.  Sistem Campuran (Distrik dan Proporsional).
a.    Menggabungkan 2 (dua) sistem sekaligus (distrik dan proporsional)
b.    Setengah dari anggota Parlemen dipilih melalui sistem distrik dan setengahnya lagi dipilih melalui proporsional.
c.    Ada keterwakilan sekaligus ada kesatuan geografis.

E.  Sejarah pelaksanaan Pemilu di Indonesia
Sepanjang sejarah Indonesia, telah diselenggarakan 10 kali pemilu anggota lembaga legislatif yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009.
Pemilu di Indonesia sudah dilaksanakan selama 10 kali yang pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Amandemen ke-4 UUD 1945 tahun 2002, pilpres yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres pertama diadakan pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan pilkada juga dimasukkan sebagai rezim pemilu. Sekarang, istilah pemilu lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pilpres diadakan setiap 5 tahun sekali.
1.      PEMILU 1955
Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu ini disebut Pemilu 1955, dan dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Pemilu ini diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis.
Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
a.    Pemilu DPR 29 September 1955.
b.    Pemilu Konstituante 15 Desember 1955.

2.      PEMILU 1977
Pemilu kedua diselenggarakan 5 Juli 1971. Para pejabat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Namun, para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu.
Dalam Pemilu ini, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem demikian lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma.
3.      PEMILU 1977, 1982, 1987, 1992, 1997
Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu terjadwal sekali dalam 5 tahun dan pesertanya hanyalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan karya. Keadaan ini membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer.
4.      PEMILU 1999
Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada 7 Juni 1999 di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.Lima besar Pemilu 1999 PDIP, Partai Golkar, PPP, PKB, dan PAN.
Walaupun PDIP meraih suara terbanyak, yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari PKB, yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.
5.      PEMILU 2009
Ada beberapa permasalahan dalam penyelenggaraan pemilu tahun 2009, antara lain :
a.    Alokasi kursi DPR tergantung jumlah propinsi dan jumlah penduduk,  bagaimana dengan propinsi baru, atau yang akan lahir?
b.    Masalah penegakan hukum
c.    Sanksi pidana maupun administrative tidak dijalankan secara maksimal.
d.   Ketidakpuasan atas hasil Pemilu
e.    Penyelenggara Pemilu(KPU) terperangkap masalah korupsi dan  suap

F.   Perkiraan pelaksanaan Pemilu di Indonesia tahun 2014
Dunia politik hingga saat ini masih menjadi hal yang kurang diminati generasi muda. Padahal potensi suara generasi muda di pemilihan umum 2014 mendatang bisa mencapai 60 persen dari total suara pemilih.
Sudah saatnya generasi muda menentukan arah perjalanan bangsa. Banyak hal yang bisa dilakukan generasi muda, salah satunya dengan melihat rekam jejak pemimpin yang akan bertarung di Pilpres 2014. Namun sayangnya politik masih jadi momok yang kurang dikenal baik oleh kalangan anak muda. Sehingga para partai politik harus pintar mencari strategi mendapatkan hati pemuda.
Partai politik harus bisa membuat politik itu seksi di mata pemuda dan ganteng di mata pemudi. Jika bisa begitu, maka otomatis generasi muda akan melirik, berusaha mengenal dan akhirnya mencintai politik.
Calon presiden mendatang harus mampu juga mendekati generasi muda. Siapapun yang mau memimpin negeri ini harus merangkul the new society, yaitu generasi social media, yang terdiri dari bloggers, facebookers dan Twitter. Kita adalah twitter nation, dan terbukti banyak yang runtuh maupun naik kekuasaan melalui social media, contoh timur tengah.

BAB IV
PENUTUP

Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.
Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dimana rakyat dapat memi­lih pemimpin politik secara langsung. Yang dimaksud dengan pemimpin politik disini adalah wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat (parlemen) baik ditingkat pusat maupun daerah dan pemimpin lembaga eksekutif atau kepala pemerintahan seperti presiden, gubernur, atau bupati/walikota.
Dalam ilmu politik dikenal beberapa sistem pemilu, akan tetapi umumnya berkisar pada prinsip pokok, antara lain system distrik, system proporsional, dan system campuran (distrik dan proporsional). Sepanjang sejarah Indonesia, telah diselenggarakan 10 kali pemilu anggota lembaga legislatif yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009. Di Pemilu mendatang yang akan dilaksanakan pada tahun 2014 jumlah suara dari pemmuda bisa mencapai 60% dari jumlah total pemilih namun sayangnya banyak pemuda Indonesia yang masih tabu dengan urusan politik.

DAFTAR PUSTAKA

R. Herlambang Perdana Wiratraman, Pemilihan Umum, Makalah, Departemen Hukum dan Tata Negara Fakultas Hukum, Universitas Airlangga, Surabaya, 6 Juni 2008.

Komisi Pemilihan Umum, Modul Pemilihan Umum untuk Pemula, November 2010.

Pemilu di Indonesia, http://www.wikipedia.com

Tomi Tresnady, 60% Suara Pemilu 2014 Berasal dari Generasi Muda, www.okezone.com



1 komentar:


  1. In 2004 for the first time the Indonesian nation presidential elections and vice president directly by the people.
    togel singapore

    BalasHapus